Rabu, 23 November 2011

Masyarakat Tradisional, Masyarakat Transisi, Masyarakat Modern, masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan

A. Masyarakat Tradisional
1. Pengertian Masyarakat Tradisional
Apakah yang dimaksud dengan masyarakat tradisional ? Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka.

Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Istilah desa dapat merujuk pada arti yang berbeda-beda, tergantung dari sudut pandangnya.
Secara umum desa memiliki 3 unsur, yaitu :
1) Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas, lokasi dan batas-batasnya yang merupakan lingkungan geografis;
2) Penduduk; meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencaharian yang sebagian besar bertani, serta pertumbuhannya.
3) Tata kehidupan; meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa.
Ketiga unsur dari desa tersebut tidak lepas satu sama lain, melainkan merupakan satu kesatuan
Secara sosiologis pengertian desa memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat pertanian dalam suatu masyarakat yang jelas menurut susunan pemerintahannya. Bila kita amati secara fisik, desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, kadang-kadang dilingkungi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya belum sepenuhnya digarap manusia.

Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran atau melepaskan lelah dari kehidupan kota. Akan tetapi, sebaliknya, adapula kesan yang menganggap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, sulit menerima pembaharuan, mudah ditipu dan sebagainya. Kesan semacam ini timbul karena masyarakat kota hanya mengamati kehidupan desa secara sepintas dan kurang mengetahui tentang kehidupan mereka sebenarnya.

Namun demikian, perlu kita pahami bahwa tidak semua masyarakat desa dapat kita sebut sebagai masyarakat tradisional, sebab ada desa yang sedang mengalami perubahan ke arah kemajuan dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Jadi, masyarakat desa yang dimaksud sebagai masyarakat tradisional dalam pembahasan ini adalah mereka yang berada di pedalaman dan kurang mengalami perubahan atau pengaruh dari kehidupan kota.

2. Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional
Ciri yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam itu.
Jadi, masyarakat tradisional, hubungan terhadap lingkungan alam secara khusus dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu :
1) Hubungan langsung dengan alam, dan
2) Kehidupan dalam konteks yang agraris.
Dengan demikian pola kehidupan m masyarakat tradisional tersebut ditentukan oleh 3 faktor, yaitu :
1) Ketergantungan terhadap alam,
2) Derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam, dan
3) Struktur sosial yang berkaitan dengan dua faktor ini, yaitu struktur sosial geografis serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah.

B. Masyarakat Transisi
1. Pengertian Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suattu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Transisi
Ciri-ciri masyarakat transisi :
a. Adanya pergeseran dalam bidang, misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor industri
b. Adanya pergeseran pada tingkat pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi sekrang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat.
c. Mengalami perubahan ke arah kemajuan
d. Masyarakat sudah mulai terbuka dengan perubahan dan kemajuan jaman.
e. Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
f. Biasanya terjadi pada masyarakat yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.

C. Masyarakat Modern
1. Pengertian Masyarakat Modern
Apakah yang dimaksud dengan masyarakat modern ? masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mencapai kemajuan itu masyarakat modern berusaha agar mereka mempunyai pendidikan yang cukup tinggi dan berusaha agar mereka selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan kemajuan di bidang lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Bagi negara-negara sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.
Pengertian kota secara sosiologi terletak pada sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah penduduk di suatu wilayah perkotaan. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini, misalnya gelandangan atau orang yang tidak jelas pekerjaan dan tempat tinggal.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Modern
Alam tidak lagi hal yang amat vital dalam menunjang kehidupan mereka seperti yang dialami masyarakat tradisional. Sebaliknya alam dikendalikan dengan kemampuan pengetahuan mereka dalam menunjang kehidupan yang lebih baik.
Masyarakat kota yang hidupnya mengalami gejala modernisasi umumnya hidup dari sektor industri, selain itu mereka juga hidup dari sektor perdagangan kepariwisataan, dan jasa lainnya. Jadi, kota yang sebagian besar warganya terlibat dalam kegiatan itu disebut kota industri. Sistem mata pencaharian sektor industri mempengaruhi segi-segi kehidupan sosial masyarakat modern antara lain mempengaruhi pembentukan sistem pelapisan sosial, organisasi sosial, pola-pola perilaku, nilai dan norma sosial, kekuasaan dan wewenang dan segi-segi kehidupan lainnya yang merupakan ciri-ciri masyarakat modern.

D. Masyarakat Pedesaan
1. Pengertian Masyarakat Pedesaan
Masyarakat pedesaan ialah masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu yang ukurannya lebih kecil dari wilayah kota. Masyarakat desa adalah bentuk persekutuan abadi antara manusia dan institusinya dalam wilayah setempat yaitu tempat mereka tinggal di rumah-rumah pertanian yang tersebar dan di kampung yang biasanya menjadi pusat kegiatan bersama. Sering disebut dengan masyarakat pertanian / pedesaan.
2. Ciri-Ciri Masyarakat Desa
Roucek – Warren
Ciri-ciri desa adalah :
- Kelompok primer merupakan kelompok dominan
- Hubungan antarwarga bersfiat akrab dan awet
- Homogen dalam berbagi aspeknya
- Mobilitas sosial rendah
- Keluarga lebih dilihat fungsinya secara ekonomis sebagai unit produksi
- Proporsi anak lebih besar
Mayor Polak
- Bersifat kekeluargaan
- Bersifat koeltif dalam pembagian dan pengerjaan tanah
- Bersifat kesatuan ekonomis, yaitu dapat memenuhi kebutuhan sendiri (subsistensi)
Bauchmant
- Jumlah penduduk kecil
- Sebagian besar penduduk dari pertanian
- Dikuasai alam
- Homogen
- Mobilitas rendah
- Hubungan intim
Talcott Parson
Afektifitas : Hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa sikap tolong menolong.
- Bersifat kolektif dalam pembagian dan pengerjaan tanah.
- Bersfiat kesatuan ekonomis , yaitu dapat memenuhi kebutuhan sendiri (subsistensi)
Bauchmant
- Jumlah penduduk kecil
- Sebagian besar penduduk hidup dari pertanian
- Dikuasai alam
- Homogen
- Mobilitas rendah
- Hubungan intim
Talcott Parson
Afektifitas : hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan. Wujudnya berupa sikap tolong menolong terhadap orang lain.
Orientasi kolektif : meningkatkan kebersamaan, tidak suka menonjolkan diri, tidak (enggan) berbeda pendapat
Partikularisme : semua hal yang berhubungan dengan apa yang khusus untuk tempat atau daerah tertentu saja, perasaan subjektif, rasa kebersamaan
Askripsi : berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang disengaja, tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan
Kekaburan (Diffusenses) : sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antarpribadi, tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit (tidak to the point).
3. Tipologi Perkembangan Desa
Perkembangan desa mengikuti pola sebagai berikut :
1) Desa Tradisional (Pradesa)
Pada masyarakat suku terasing yang masih bergantung pada alam (cara bercocok tanam, cara memasak makanan, cara pemeliharaan kesehatan) kondisi masyarakat relatif statis tradisional masyarakat tergantung pada keterampilan dan kemampuan pemimpin (kepala suku).
2) Desa Swadaya
Sudah mampu mengolah alam untuk mencukup kebutuhan sendiri sudah mengenal sistem iritasi sehingga tidak tergantung curah hujan.
3) Desa Swakarsa (Desa peralihan)
Sudah menuju ke arah kemajuan benih-benih demokrasi sudah mulai tumbuh 9tidak lagi tergantung pada pemimpin) mobilitas sosial sudah mulai ada baik vertikal maupun horizontal.

4) Desa Swasembada
Masyarakat sudah tergolong maju sudah mengenal mekanisasi dan teknologi ilmiah partisipasi masyarakat dalam bidang pembangunan sudah efektif.

E. Masyarakat Perkotaan
1. Pengertian Masyarakat Perkotaan
Masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini.
2. Ciri – Ciri Masyarakat Kota
a. Ciri – Ciri Kehidupan Masyarakat Kota Sebagai berikut :
- Pembagian kerja sudah terspesialisasi dengan jelas
- Organisasi sosial lebih berdasar pada pekerjaan dan kelas sosial daripada kekeluargaan
- Lembaga pemerintahan lebih maju berdasar teritoritum daripada kekeluargaan t
- Terdapat sistem perdagangan dan pertukaran
- Mempunyai sarana komunikasi dan telekomunikasi yang lengkap
- Berteknologi yang rasional.
b. Ciri-ciri masyarakat kota menurut Talcott Parson antara lain :
- Netralitas efektif, memperhatikan sikap netral, mulai sikap acuh tak acuh sampai tidak memperdulikan jika menurut pendapatnya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan pribadinya.
- Orientasi diri, menonjolkan kepentingan pribadi dan tidak segan-segan menentang jika dirasa tidak cocok atau diasakan melanggar kepentingannya
- Universalisme, berpikir objektif, menerima segala sesuatu secara objektif
- Prestasi, suka mengejar prestasi, karena prestasi mendorong orang terus maju.
- Spesifitas, menujukkan sesuatu yang jelas dan tegas dalam hubungan antara pribadi, maksudnya niat dinyatakan secara langsung (to the point).
 

Selasa, 22 November 2011

Skripsi, tesis,disertasi

Skripsi, Tesis, dan Disertasi adalah karya ilmiah yang disyaratkan untuk lulus pendidikan jenjang S-1, S-2 dan S-3. Pada dasarnya cara penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi adalah sama, bedanya semakin tinggi tingkatannya, maka semakin banyak fakta-fakta dan teori-teori yang harus dirujuk sebagai dasar penelitian, dan juga cara penyajiannya mulai dari hanya mendeskripsikan suatu obyek penelitian sampai dengan menghasilkan suatu teori berdasarkan fakta-fakta empiris. Banyak mahasiswa yang sedang menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi memilih untuk menunda-nunda proses penyusunan proposal penelitiannya atau bahkan tidak menyelesaikan Skripsi, Tesis, dan Disertasinya karena tidak tahu harus mulainya darimana atau sudah jenuh dengan revisi yang tak kunjung selesai atau tidak mempunyai waktu, misalnya karena sambil bekerja. Sebenarnya yang menjadi kendala dalam penyusunan suatu proposal penelitian adalah : (1) Komitmen yang kurang kuat pada diri sendiri untuk mau memulai menyusun proposal penelitian; Jangan takut salah! "Orang yang SUKSES adalah orang yang pernah membuat KESALAHAN; Tidak ada orang yang SUKSES tanpa mengalami suatu KESALAHAN", (2) Kesulitan dalam menentukan masalah yang akan diteliti atau yang ingin diketahui lebih lanjut, sebagai titik awal untuk menyusun suatu proposal penelitian, (3) Tidak mempunyai referensi yang cukup terkait dengan topik penelitiannya, dan (4) Kurang pengalaman dalam menulis karya ilmiah sehingga sulit untuk menguraikan pendapatnya dalam bentuk tulisan; Perlu latihan dan jangan takut salah!. Oleh sebab itu mudah-mudahan Pedoman Praktis Penyusunan Usulan Penelitian/ Proposal Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang singkat ini minimal dapat memberikan pencerahan bagi Anda.Semoga Bermanfaat... dan TETAP SEMANGAT!.

Salam SUKSES MULIA!

Menentukan Masalah

Setiap penelitian harus bertolak dari suatu masalah. Penelitian dilakukan justru karena adanya masalah. Tanpa masalah penelitian tidak perlu dilakukan. Artinya masalah merupakan syarat mutlak bagi suatu penelitian. Kemudian penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah. Namun dalam praktiknya untuk menggali dan menentukan masalah untuk keperluan penyusunan proposal penelitian seringkali tidak mudah. Pada umumnya mahasiswa menghadapi kesulitan untuk memetakan sekalipun sudah jelas-jelas tampak di depan mata. Artinya, mahasiswa seringkali tidak mampu melihat dan memahami gejala-gejala yang ada di sekitarnya sebagai masalah.
Ketika Anda hendak menyusun proposal penelitian, langkah pertama yang perlu Anda lakukan adalah menentukan masalah. Masalah dapat mengemuka dalam bentuk kinerja, produktivitas, prestasi kerja, motivasi kerja, kepuasan kerja karyawan/ pegawai perusahaan atau instansi pemerintah yang menurun atau belum optimal. Masalah bisa pula tampak dalam bentuk pelayanan karyawan/ pegawai perusahaan/ instansi yang menurun atau belum optimal, pelanggan yang tidak puas atau prestasi dan motivasi belajar siswa yang surut. Intinya dalam masalah terdapat gejala-gejala yang mengindikasikan adanya penurunan, kemunduran, kemerosotan, atau paling tidak belum sesuai dengan harapan, standar, atau kriteria yang digunakan/dibakukan.
Contohnya :
  • Karyawan yang datang ke kantor sering terlambat, mengambil waktu istirahat melebihi jam istirahat, pulang lebih cepat, dan sering mangkir tanpa alasan yang jelas. Ini mengindikasikan adanya gejala-gejala aktual rendahnya motivasi kerja atau kinerja karyawan.
  • Siswa yang nilai raportnya menurun adalah indikasi dari masalah yang terkait dengan motivasi belajar siswa.
  • Guru mengajar dengan output lebih dari 50% siswanya tidak lulus adalah gejala yang mengarah pada masalah motivasi mengajar atau kinerja guru.
  • Karyawan di suatu instansi yang korup adalah indikasi adanya masalah yang terkait dengan kinerja karyawan dalam hubungannya dengan spiritualitas, kecerdasan emosional, pengawasan, atau budaya organisasi.
Jadi dapat menggunakan indikasi penurunan, kemunduran atau kemerosotan tersebut untuk melihat adanya masalah. Jika tidak ada gelaja yang mengarah ke indikasi tersebut, maka dapat melihat dari sisi yang lain, yaitu ketidakmampuan dalam mencapai atau memenuhi standar, kriteria atau harapan.

Proses Penelitian Kuantitatif : Klik Gambar Untuk Memperbesar

Latar Belakang Masalah

Jika sudah mementukan masalah, langkah berikutnya menggali latar belakang dari masalah yang akan Anda teliti. Latar belakang menguraikan tentang faktor-faktor yang menyebabkan atau mendorong munculnya masalah. Oleh karena itu penyajian latar belakang harus dimulai dari masalah yang akan diteliti, kemudian disusul sejumlah faktor atau variabel yang memiliki peluang menyebabkan munculnya masalah. Sebagai pembukaan pada umumnya diutarakan dahulu mengenai rasional atau alasan mengapa kita tertarik atau perlu meneliti masalah tersebut. Alasan ini biasanya terkait dengan fakta empirik atau kajian teroritik. Untuk mudahnya ikuti langkah-langkah berikut secara berurutan dalam menyusun atau menyajikan latar belakang :
  • Uraikan mengenai alasan yang mendorong meneliti masalah tertentu. Jika yang diteliti misalnya kinerja pegawai, maka utarakan bahwa kinerja pegawai sangat penting bagi kelangsungan dan perkembangan organisasi, terutama dalam menghadapi iklim kompetisi yang semakin ketat pada era globalisasi.
  • Paparkan gejala-gejala aktual di lokasi penelitian yang menunjukkan menurunnya kinerja pegawai. Perkuat dengan acuan teoritik yang menunjukkan bahwa gejala-gejala tersebut merupakan bagian dari kinerja yang buruk atau setidaknya kurang optimal.
  • Sajikan beberapa faktor atau variabel yang menurut teori potensial mendorong terjadinya penurunan kinerja Misalnya : motivasi dan kompensasi kerja. Tunjukkan keterkaitan faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut dengan kinerja.
  • Sebagai penutup, ketengahkan tentang keterkaitan dan perlunya meneliti masalah tersebut (kinerja) ditinjau dari perspektif faktor-faktor atau variabel-variabel penyebabnya (motivasi dan kompensasi kerja).

Identifikasi Masalah

Banyak faktor yang mungkin menyebabkan timbulnya suatu masalah. Dalam kasus kinerja pegawai, bukan hanya terkait dengan motivasi dan kompensasi kerja, tetapi juga kepemimpinan, supervisi/pengawasan, iklim organisasi, budaya organisasi, iklim komunikasi organisasi, lingkungan kerja, pelatihan, kepuasan kerja, semangat kerja, etos kerja, kedisiplinan, kecerdasan emosional, manajemen stress, kondisi fisik, dan lain-lain.
Idealnya, ketika kita meneliti tentang masalah kinerja, semua faktor tersebut kita teliti. Namun, karena sejumlah keterbatasan yang kita miliki, misalnya waktu, tenaga, biaya, dan kemampuan, maka tidak semua faktor tersebut dapat kita teliti. Oleh karena itu, sesuai dengan jenjang pendidikan kita (S1, S2 atau S3), kita hanya meneliti sebagian kecil saja dari faktor-faktor tersebut.
Walaupun demikian, untuk kepentingan penyusunan proposal penelitian kita, semua faktor tersebut dapat diidentifikasi sebagai masalah, satu per satu. Makin banyak identifikasi masalah yang kita lakukan, makin baik. Untuk mempermudah dalam melakukan identifikasi masalah, gunakan acuan teoritik yang terkait dengan kinerja. Perhatikan faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja pegawai, lalu jadikan faktor-faktor tersebut sebagi identifikasi masalah.
Selama ini ada 2 (dua) versi penyajian identifikasi masalah. Ada yang menyajikan dalam bentuk pertanyaan, dan ada pula yang menyajikan dalam bentuk pernyataan. Keduanya memiliki rasional masing-masing. Tetapi Anda tidak perlu bingung. Gunakan salah satu yang sesuai dengan ketentuan penyusunan proposal yang berlaku di fakultas atau universitas tempat Anda kuliah.

Pembatasan Masalah

Jika hendak menyusun proposal penelitian untuk penulisan disertasi, harus memasukkan semua faktor tersebut kedalam paket identifikasi masalah, bahakan perlu ditambah faktor lain yang baru. Tetapi, jika mau menyusun proposal skripsi atau tesis, tidak perlu memasukkan semua faktor tersbut. Gunakan saja beberapa yang paling relevan dengan masalah yang akan diteliti. Pertimbangkan segenap keterbatasan, khususnya tenaga, waktu, biaya, dan kemampuan teoritik dan metodologis. Pembatasan masalah minimal mencakup dua hal : (1) Lokasi/Obyek Penelitian :Hal ini berkaitan langsung dengan tempat yang dijadikan obyek penelitian, misalnya : perusahaan, instansi pemerintah, sekolah, pesantren, masjid, gereja, pasar/mall, dan lain-lain. (2) Variabel atau Fokus Penelitian :Hal ini berkaitan dengan variabel-variabel atau dokus penelitian yang akan diteliti.Jadi dalam pembatasan masalah, 2 (dua) unsur tersebut harus terpenuhi. Sebagai gambaran dapat diberikan contoh untuk penelitian mengenai kinerja pegawai PT. X sebagai berikut :
”Seperti diuraikan diatas, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai sangat banyak. Padahal, dalam waktu yang sama, penulis memiliki sejumlah keterbatasan, terutama waktu, biaya, tenaga dan kemampuan akademik. Menyadari kondisi tersebut dan terutama sesuai dengan kaidah keilmuan, maka permasalahan penelitian ini dibatasi hanya pada masalah pengaruh motivasi dan kompensasi kerja terhadap kinerja pegawai PT. X”.
Dalam contoh ini, unsur pertama diwakili oleh PT. X, sedangka unsur kedua diwakili oleh variabel-variabel motivasi, kompensasi dan kinerja pegawai.

Perumusan Masalah

Apabila sudah berhasil membatasi masalah dengan tepat, maka langkah berikutnya adalah merumuskan masalah. Perumusan masalah harus sesuai dan sinkron dengan pembatasan masalah dan disajikan dalam bentuk pertanyaan. Dengan merujuk pada contoh pembatasan masalah diatas maka dapat diberikan contoh rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apakah terdapat pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai PT. X?
  2. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai PT.X?
  3. Apakah terdapat pengaruh motivasi dan kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai PT. X?
Atau dalam versi lainnya :
  1. Apakah motivasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT. X?
  2. Apakah kompensasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT.X?
  3. Apakah secara bersama-sam motivasi dan kompensasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT. X?
Atau kalau judulnya mengenai Hubungan, maka rumusan masalahnya sebagai berikut :
  1. Apakah terdapat hubungan antara motivasi dengan kinerja pegawai PT. X?
  2. Apakah terdapat hubungan antara kompensasi dengan kinerja pegawai PT. X?
  3. Apakah terdapat hubungan antara motivasi dan kompensasi secara bersama-sama dengan kinerja pegawai PT. X?
Banyak variasinya dalam menyajikan perumusan masalah. Anda pilih saja salah satu yang paling sesuai dengan selera perguruan tinggi tempat Anda kuliah. Ada kalanya Anda tidak puas pada selera perguruan tinggi tempat Anda kuliah, tetapi sebagai mahasiswa Anda tidak dapat berbuat banyak. Sebagai bagian dari civitas akademika. Anda harus mengikuti aturan main yang berlaku di perguruan tinggi tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian harus sejalan dan sinkron dengan masalah penelitian yang sudah diformulasikan dalam bentuk rumusan masalah.
Contohnya :
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk :
  • Mengetahui pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Mengetahui pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Mengetahui pengaruh motivasi dan kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai PT. X
Atau kalau rumusan masalahnya mengenai Hubungan, maka tujuan penelitiannya sebagai berikut :
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk :
  • Mengetahui hubungan antara motivasi dengan kinerja pegawai PT. X
  • Mengetahui hubungan antara kompensasi dengan kinerja pegawai PT. X
  • Mengetahui hubungan antara motivasi dan kompensasi secara bersama-sama dengan kinerja pegawai PT. X

Kegunaan/Manfaat Penelitian

Kegunaan/manfaat penelitian umumnya dipilah menjadi dua kategori, yaitu teoritis/akademis dan praktis/fragmatis. Kegunaan teoritis/akademis terkait dengan kontribusi tertentu dari penyelenggaraan penelitian terhadap perkembangan teori dan ilmu pengetahuan serta dunia akademis. Sedangkan kegunaan praktis/fragmatis berkaitan dengan kontribusi praktis yang diberikan dari penyelenggaraan penelitian terhadap obyek penelitian, baik individu, kelompok, maupun organisasi.
Contohnya :
Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini sekurang-kurangnya diharapkan dapat memberikan dua kegunaan, yaitu :
  • Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan manajemen sumber daya manusia, khususnya yang terkait dengan pengaruh motivasi dan kompensasi terhadap kinerja pegawai PT. X.
  • Manfaat praktis, dapat memberikan masukan yang berarti bagi PT. X dalam meningkatkan kinerja pegawainya, khususnya melalui perspektif motivasi dan kompensasi.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dibuat dengan dua tujuan. Pertama, sebagai guidance bagi penulis untuk menyusun bab-bab yang belum terselesaikan, yaitu bab dua dan seterusnya. Kedua, untuk mempermudah pembaca dalam menyimak dan memahami keseluruhan bagian skripsi, tesis atau disertasi.

Contoh Sistematika Penulisan :

PENELITIAN KUANTITATIF

BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah : berupa pengantar mengenai arti penting topik tersebut untuk diteliti, alur berpikir hingga muncul permasalahan, yang diakhiri oleh perumusan masalah yang berbentuk kalimat tanya
B. Tujuan Penelitian : berisi tujuan diadakannya penelitian tersebut
C. Manfaat Penelitian : berisi manfaat teoritis dan manfaat praktis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Variabel terikat / kriterium : berisi pengertian atau defmisi variabel tersebut, aspek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari variabel tersebut yang nantinya dijadikan indikator dari alat ukur yang digunakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
B. Variabel bebas / prediktor : berisi pengertian atau definisi variabel tsebut, aspek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari variabel tersebut yang nantinya dijadikan indikator dari alat ukur yang digunakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
C. Subjek Penelitian : untuk menggambarkan subjek penelitian -- berisi pengertian, karakteristik dsb) mengenai subjek penelitian (misal : remaja, ibu rumah tangga, waria, pekerja seks komersil, dsb)
D. Hubungan antara Variabel A dengan B atau Perbedaan pada variabel A berdasarkan variabel B : berupa dinamika yang menggambarkan keterkaitan antara variabel A clan Variabel B (baik berupa hubungan, pengaruh, atau perbedaan), sehingga nantinya dapat ditarik suatu hipotesis
E. Hipotesis

BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi variabel-variabel penelitian : berisi variabel apa saja yang ada dalam penelitian tersebut
B. Definisi operasional variabel-variabel penelitian : bentuk operasional dari variabel-variabel yang digunakan, biasanya berisi definisi konseptual, indikator yang digunakan, alat ukur yang digunakan (bagaimana cara mengukur) & penilaian alat ukur (semakin tinggi skor menunjukkan semakin tinggi .......)
C. Subjek penelitian : berisi karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian, juga diberi penjelasan mengenai populasi, sampel dan teknik sampling yang digunakan

D. Teknik pengumpulan data : teknik dan alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan data dan setiap alat ukur yang digunakan perlu dijelaskan
E. Validitas dan reliabilitas alat pengumpul data : berisi pengertian mengenai konsep validitas dan reliabilitas serta teknik yang dilakukan. Jika menggunakan alat ukur yang sudah ada, hasil uji validitas dan reliabilitasnya harap ditulis.
F. Teknik analisis data : teknik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan : berupa poin-poin yang berisi hasil penelitian yang menjawab hipotesis penelitian dan hasil tambahan lainnya.
B. Saran : saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan dengan hasil penelitian, juga untuk penelitian selanjutnya

Daftar Pustaka
Lampiran


PENELITIAN EKSPERIMEN

BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah : berupa pengantar mengenai arti penting topik tersebut untuk diteliti, alur berpikir hingga muncul permasalahan & diakhiri oleh perumusan masalah yang berbentuk kalimat tanya
B. Tujuan Penelitian : berisi tujuan diadakannya penelitian tersebut
C. Manfaat Penelitian : berisi manfaat teoritis dan manfaat praktis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Variabel terikat : berisi pengertian atau definisi variabel tersebut, aspek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari variabel tersebut yang nantinya dijadikan indikator dari alat ukur yang digunakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
B. Variabel bebas : berisi pengertian atau definisi variabel tersebut, aspek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari variabel tersebut yang nantinya dijadikan indikator dari alat ukur yang digunakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
C. Subjek Penelitian : untuk menggambarkan subjek penelitian -- berisi pengertian, karakteristik dsb) mengenai subjek penelitian (misal : remaja, ibu rumah tangga, waria, pekerja seks komersil, dsb)
D. Pengaruh / efektivitas variabel bebas terhadap (untuk meningkatkan) variable terikat : berupa dinamika yang menggambarkan pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat pada subjek penelitian (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol), sehingga nantinya dapat ditarik suatu hipotesis
E. Hipotesis

BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi variabel penelitian : berisi variabel apa saja yang ada dalam penelitian tersebut
B. Definisi operasional variabel penelitian : bentuk operasional dari variabel-variabel yang digunakan, biasanya berisi definisi konseptual, indikator yang digunakan, alat ukur yang digunakan (bagaimana cara mengukur) & penilaian alat ukur
C. Subjek penelitian : berisi karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian.
D. Teknik pengumpulan data : teknik dan alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan data dan setiap alat ukur yang digunakan perlu dijelaskan
E. Validitas dan reliabilitas alat ukur : berisi pengertian mengenai konsep validitas dan reliabilitas serta teknik yang dilakukan. Jika menggunakan alat ukur yang sudah ada, hasil uji validitas dan reliabilitasnya harap ditulis.
F. Rancangan Eksperimen : menggambarkan rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian
G.Teknik analisis data : teknik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan : berupa poin-poin yang berisi hasil penelitian yang menjawab hipotesis penelitian dan hasil tambahan lainnya.
B. Saran : saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan dengan hasil penelitian, juga untuk penelitian selanjutnya

Daftar Pustaka
Lampiran


PENELITIAN KUALITATIF

BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah : berisi pengantar mengenai alasan topik tersebut diteliti dan signifikansi masalah
B. Pertanyaan Penelitian : berupa perumusan masalah yang berbentuk kalimat tanya (mengapa, bagaimana)
C. Tujuan Penelitian : berisi tujuan diadakannya penelitian tersebut
D. Manfaat Penelitian : berisi manfaat teoritis dan manfaat praktis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Fokus Penelitian (konsep) 1 : berisi pengertian atau definisi konsep tersebut, aspek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari konsep tersebut yang nantinya akan dijadikan indikator dari konsep tersebut, faktor¬faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
B. Fokus penelitian (konsep) 2 (jika menggunakan 2 konsep) : berisi pengertian atau definisi konsep tersebut, a5pek / dimensi / komponen / bentuk / gejala dsb dari konsep tersebut yang nantinya akan dijadikan indikator dari konsep tersebut, faktor¬faktor yang mempengaruhi, dan sebagainya
C. Dinamika yang menggambarkan keterkaitan antara konsep 1 dan konsep 2 (jika menggunakan 2 konsep)
D. Hipotesis (jika mengajukan hipotesis)

BAB III METODE PENELITIAN
A. Subjek penelitian : berisi karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian dan jumlah subjek yang akan diteliti
B. Tahap-tahap penelitian : berisi gambaran mengenai tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian
C. Teknik pengumpulan data : gambaran mengenai teknik dan alat ukur yang digunakan dalam pengumpulan data
D. Instrumen Penelitian : alat bantu yang digunakan di dalam penelitian
E. Keabsahan dan keajegan penelitian : berisi pengertian dan gambaran mengenai konsep keabsahan (validitas - dimana didalamnya termasuk triangulasi data) dan keajegan (reliabilitas - termasuk cek dan ricek) dalam penelitian kualitatif

BAB IV PENUTUP
A. Simpulan : berupa poin-poin yang berisi hasil penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian dan hasil temuan lainnya.
B. Saran : saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan dengan hasil penelitian, juga untuk peneliti selanjutnya

Daftar Pustaka
Lampiran (termasuk pedoman wawancara, pedoman observasi, verbatim)

Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka harus menguraikan perkembangan teoritis dari awal pemunculan sebuah teori hingga perkembagannya terkini (pada masa sekarang), dan diberikan apresiasi berupa kekurangan dan kelebihan, serta relevansinya dengan topik penelitian yang diteliti. Dalam tinjauan harus ada unsur definisi dan dimensi/indikator. Tip dalam mempermudah mendapatkan bahan-bahan yang relevan dan terpilih adalah sebagai berikut :
  • Cari jurnal ilmiah yang variabelnya sama dengan variabel yang akan digunakan dalam proposal penelitian, disitu akan menemukan teori-teori yang relevan dan terpilih.
  • Baca tesis atau disertasi yang variabelnya sama dengan variabel yang akan diteliti dalam proposal penelitian, disistu akan memperoleh bahan-bahan yang berharga dan relevan.
  • Beri tanda khusus pada bagian-bagian dari jurnal, tesis atau disertasi yang akan dikutip dengan tidak lupa mencatat sumber aslinya.
  • Seleksi bahan-bahan yang diperoleh lalu himpun per variabel, bagian, sub-bagian dan seterusnya hingga bagian terkecil.
  • Gunakan bahan-bahan tersebut sesuai kebutuhan, urutan, dan prioritas penggunaannya.

Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran intinya berusaha menjelaskan konstelasi hubungan antar variabel yang akan diteliti. Konstelasi hubungan tersebut idealnya dikuatkan oleh teori atau penelitian sebelumnya. Dalam menyusun kerangka pemikiran, penyajiannya dimulai dari variabel yang mewakili masalah penelitian. Jika hendak diteliti adalah masalah kinerja pegawai dalam hubungannya dengan motivasi dan kompensasi, maka penyajiannya dimulai dari teori kinerja lalu dikaitkan dengan teori motivasi. Keterkaitan dua variabel tersebut sedapat mungkin dilengkapi dengan teori atau penelitian tedahulu yang dilakukan seorang pakar/peneliti atau lebih yang menyatakan adanya hubungan atau pengaruh antar keduanya.
Jika konstelasi hubungan antara kinerja dan motivasi sudah terbangun dengan baik, maka tahap selanjutnya adalah merangkai konstelasi hubungan antara kinerja dengan kompensasi, dengan persyaratan teoritis serupa. Artinya, konstelasi hubungan atar keduanya juga harus diperkuat teori atau penelitian terdahulu.
Pada bagian akhir kerangka pemikiran umumnya disajikan konstelasi hubungan antara keseluruhan variabel dilengkapi dengan bagan yang menggambarkan hubungan antar variabel penelitian. Jika akan meneliti pengaruh motivasi dan kompensasi terhadap kinerja pegawai, maka dapat gambarkan secara bagan konstelasi tersebut.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara sehingga masih memerlukan pembuktian (Hadi, 2002:63). Hipotesis dinyatakan dalam bentuk ’pernyataan’ dan sinkron dengan rumusan masalah.

Bentuk-bentuk hipotesis :
Hipotesis Null :
  • Ho:Tidak terdapat pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Ha:Terdapat pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Ho:Tidak terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Ha:Terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Ho:Tidak terdapat pengaruh motivasi dan kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Ha:Terdapat pengaruh motivasi dan kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai PT. X
Hipotesis Kerja :
  • Terdapat pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai PT. X
  • Terdapat pengaruh motivasi dan kompensasi secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai PT. X

Metode Penelitian

Metode penelitian secara tersirat dapat memberikan gambaran mengenai pendekatan, tipe, jenis atau desain dari suatu penelitian. Metode penelitian yang populer : metode survey, pada umumnya digunakan untuk jenis penelitian deskriptif, asosiatif maupun komparatif.


Teknik Pengambilan Sampel

Jika populasi kurang dari 100 orang dan mudah dijangkau sebaiknya digunakan teknik pengambilan sampel sensus atau sampel jenuh. Jika populasi relatif besar dapat digunakan teknik pengambilan sampel sebagai berikut :
  • Acak sederhana (simple random), apabila semua anggota populasi diberikan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel penelitian.
  • Proporsional (proportional), apabila karakteristik populasi terdiri dari kategori, kelompok atau golongan yang setara atau sejajar.
  • Stratifikasi (stratified), apabila populasi terdiri atas kategori-kategori atau kelompok-kelompok yang memiliki susunan bertingkat.
  • Purposif (purposive), apbila pemilihan sampel didasarkan pada karakteristik atau ciri-ciri tertentu berdasarkan ciri atau sifat populasinya.
  • Kuota (quota), apabila penentuan jumlah sampel dilakukan terlebih dahulu sebelum penelitian dilakukan.
  • Kluster (cluster), apabila pemilihandan penentuan sampel didasarkan pada kelompok-kelompok individu, bukan pada individu.
  • Insidental, apabila penentuan sampel didasarkan pada faktor kebetulan yang dijumpai peneliti pada saat melakukan penelitian.
  • Bertahap (multistage), apabila pengambilan sampel dilakukan dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan, baik dengan menggunakan metode yang sama maupun berbeda.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang lazim digunakan :
1. Studi Lapangan :
  • Kuesioner/Angket. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang dibuat berdasarkan indikator-indikator dari varibel penelitian yang harus direspon oleh responden.
  • Wawancara. Wawancara dapat dilakukan secara : (1) Terbuka (open-ended), peneliti bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa dan opini mereka mengenai peristiwa yang ada, (2) Terfokus (responden diwawancarai dalam waktu yang pendek), dan (3) Terstruktur (menggunakan pertanyaan yang terstruktur).
  • Observasi. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empiris yang tampak (kasat mata).
  • Dokumentasi. Teknik ini dilakukan dengan memanfaatkan dokumen-dokumen tertulis, gambar, foto, atau benda-benda lainnya yang berkaitan dengan aspek-aspek yang diteliti.
2. Studi Pustaka
  • Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur, baik buku, jurnal, majalah, koran, atau karya tulis lainnya yang relevan dengan topik, fokus atau variabel penelitian.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang umum digunakan, yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi variabel penelitian, antara lain dengan cara melihat skor minimum, skor maksimum, jangkauan (range), mean, median, modus, standar deviasi dan variansnya yang dilengkapi dengan tabel frekuensi berikut histogramnya.
Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis dan membangun generalisasi penelitian. Formula dan rumus statistik disesuaikan dengan jenis penelitiannya : asosiatif atau komparatif.
HotelsCombined.com - Search and Compare Hotel Prices for any city
HotelsCombined.com - Search and Compare Hotel Prices for any city


























Senin, 21 November 2011

Paradigma Pembelajaran Dan Learning Revolution

A. PENDAHULUAN
Manusia lahir dan berpijak di bumi. Sejak lahir, ia memiliki potensi (kemampuan berpikir) dalam memandang alam semesta dari segala isi dan aspeknya. Interaksi manusia terhadap keadaannya yang dilakukan secara individu maupun interaksi sosial kultur dengan lingkungan dan orang lain disekitarnya, akan menghasilkan pengetahuan. Refleksi pemikiran terhadap pengetahuan, manusia menjadi tahu tentang apa yang ia ketahui dan menjadi tahu tentang apa yang ia tidak ketahui. Di samping itu, manusia menerima ketidak-tahuannya tentang apa yang ia ketahui dan menyadari ketidak-tahuannya tentang apa yang ia tidak ketahui.
Banyak hal yang tertangkap oleh intuisi (pikiran) manusia dari alam nyata maupun dari dunia transedental sebagai objek abstraksi mengandalkan rasional (logika), pengamatan (indrawi), dan pengalaman hidup yang dimilikinya. Dengan memberikan perhatian yang terus menerus terhadap pelbagai segi sehingga refleksi pemikiran itu sampai pada suatu generalisasi yang menjadi ilmu pengetahuan baru bagi manusia. Pertanyaan filosofisnya adalah apakah perspektif dan refleksi pemikiran kita sama?. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar ?.

Perspektif dan refleksi pemikiran seseorang dimungkinkan berbeda dengan orang lain terhadap suatu masalah atau objek yang sama. Perspektif pemikiran ini merupakan titik berpijak dalam membangun suatu ilmu pengetahuan. Dengan demikian, seseorang tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu pengetahuan itu benar. Banyak pertanyaan yang dapat diajukan, yakni mengapa ilmu itu disebut benar? Apa kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan ilmu itu benar? Apakah proses justifikasi berdasarkan kriteria sudah dilakukan dengan benar? Apakah kriteria itu sendiri benar? Seperti sebuah lingkaran, pertanyaan itu melingkar. Pertanyaan reflektif terhadap kebenaran suatu ilmu pengetahuan dapat memperluas cakupan ilmu tersebut dan dimungkinkan melahirkan ilmu baru.

Gambar 1: Titik Berpijak Pemikiran Mamusia Menelusuri Kebenaran

Dari titik berpijak pemikiran manusia, mereka melahirkan asumsi-asumsi yang menjadi kaca mata dalam memandang objek atau masalah dan melahirkan makna kebenaran. Cara pandang manusia terhadap suatu objek atau masalah yang disebut paradigma. Istilah paradigma terungkap dalam buku the structure of scientifi revolution (Kuhn, 2002). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara pandang terhadap suatu obyek. Cara pandang tersebut boleh jadi hanya bersifat penyempurnaan atau sama sekali pergantian pandangan.
Ihalauw (2000), mengemukakan konsep paradigma dalam dua pemahaman. Pertama, paradigma dipahami sebagai sebuah citra fundamental (baik yang sedang berlaku ataupun yang baru sebagai hasil dari revolusi keilmuan) dari permasalahan pokok dalam sebuah ilmu. Kedua, paradigma sebagai titik pandang disertai seperangkat asumsi yang merepresentasikan gagasan ilmiah.

Berdasarkan kedua definisi paradigma tersebut, dapat dipahami bahwa paradigma merepresentasikan landasan ontologi dan epistemologi suatu gagasan. Sebagai cara pandang atau citra fundamental, dalam paradigma tersurat dan tersirat gagasan apa yang harus dikaji dan bagaimana cara mengkajinya.
Dalam upaya menemukan apa yang dikaji dan bagaimana cara mengkajinya, secara wajar seseorang menghendaki adanya kemajuan baik terhadap apa yang dikaji maupun terhadap bagaimana cara mengkajinya. Dengan kata lain, perubahan paradigma sangat dibutuhkan untuk mencapai kemajuan tersebut. Dalam konteks belajar, mahasiswa secara alamiah akan mengalami perkembangan pengetahuan pada dirinya. Perkembangan pengetahuan dapat terjadi dari hasil penyempurnaan pengetahuan yang telah dimiliki atau pergantian pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Perkembangan pengetahuan mahasiswa diawali oleh adanya revolusi dari struktur kognitif yang mengalami anomali ke struktur yang diyakini bermakna bagi dirinya. Perkembangan pengetahuan merupakan hasil dari perubahan paradigma.

Perubahan paradigma mahasiswa sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata. Hidup di dunia nyata dilandasi oleh semboyan: “Hari esok harus lebih baik dari sekarang”. Komitmen untuk mentaati semboyan tersebut merupakan dorongan hati yang ingin keluar dari zone nyaman, sehingga hidupnya tidak akan menjadi korban pesona terbatas. Artinya, Perubahan paradigma sangat penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi abad pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke sektor jasa berbasis pengetahuan, perubahan paradigma itu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kehidupan manusia. Artinya, ketika kehidupan telah berubah menjadi semakin maju dan kompleks, masalah-masalah yang banyak diwarnai oleh ketidakpastian hendaknya dapat dijelaskan secara keilmuan. Perkembangan kualitas dan kuantitas keilmuan mahasiswa sangat bergantung kepada kemampuannya untuk melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma mahasiswa merepresentasikan munculnya pemahaman (understanding) (Dole & Sinatra, 1998; Wenning, 2006b).

Kemampuan mahasiswa untuk melakukan perubahan paradigma berasal dari dua faktor, dari dalam dan dari luar dirinya. Faham konstruktivistik meyakini, bahwa mahasiswa mampu membangun dirinya sendiri. Namun, dalam konteks perubahan paradigma, mereka membutuhkan interaksi dengan lingkungan. Interaksi dengan lingkungan dibutuhkan untuk menemukan arah perubahan paradigma yang dilakukan. Interaksi tersebut terjadi sebagai akibat mahasiswa adalah eksis dan bereksistensi. Interaksi tersebut adalah intensionalitas pra-sadar dan ontologis. Interaksi yang terjadi lewat dialog antara mahasiswa dengan lingkungan tersebut diawali dari hasil refleksi diri yang didorong dan mendorong kesadaran untuk meningkatkan kompetensi bereksistensi. Dalam hal inilah, mahasiswa membutuhkan pelayanan dari lingkungan di mana mereka berada dan beraktivitas. Jadi, pengakomodasian perubahan paradigma sebagai salah satu wujud pelayanan mahasiswa merupakan salah satu unsur penting dalam pembelajaran.

Gagasan pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran dilandasi oleh beberapa konsepsi teoretis. (1) Kehidupan dan kebutuhan mahasiswa adalah masalah dan senantiasa berubah. (2) Konsepsi ilmu merupakan subyek yang senantiasa mengalami perubahan (Wenning, 2006b). (3) Learning requires learning to do the problems (Oman & Oman, 1997:xvii). (4) Effort to solve problem and apply meaningful knowedge must be preceded by positive attitude and effort to understand it (Simon, 1996:94).

Berdasarkan penjelasan teoretis tersebut, pemahaman {understanding) merupakan kata kunci dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran. Beberapa konsepsi teoretis yang melandasi kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut. (1) Konsepsi belajar mengacu pada pandangan konstruktivistik, bahwa understanding construction menjadi lebih penting dibandingkan memorizing fact (Brook & Brook, 1993; Jonassen, 1999; Mayer, 1999; Morrison & Collins, 1996; Riesbeck, 1996). (2) Rote learning leads to inert knowledge—we know something but never apply it to real life'" (Heinich, et al, 2002). (3) Salah satu tujuan pendidikan adalah memfasilitasi mahasiswa to achieve understanding yang dapat diungkapkan secara verbal, numerikal, kerangka pikir positivistik, kerangka pikir kehidupan berkelompok, dan kerangka kontemplasi spiritual (Gardner, 1999a). (4) Understanding is knoledge in thoughtful action (Perkin & Unger, 1999:95). (5) Pemahaman adalah suatu proses mental terjadinya adaptasi dan transformasi ilmu pengetahuan (Gardner, 1999b). (6) Pemahaman merupakan landasan bagi mahasiswa untuk membangun insight dan wisdom (Longworth, 1999:91). (7) Pemahaman merupakan indikator unjuk kerja yang siap direnungkan, dikritik, dan digunakan oleh orang lain (Dunlap & Grabinger, 1996; Gardner, 1999b; Willis, 2000). (8) Pemahaman merupakan perangkat baku program pendidikan yang merefleksikan kompetensi (Yulaelawaty, 2002). (9) Pemahaman muncul dari hasil koreksi, evaluasi, dan refleksi diri sendiri (Wenning, 2006b).

Dengan demikian, pemahaman sebagai representasi hasil perubahan paradigma mahasiswa dalam pembelajaran menjadi sangat penting. Landasan teoretis sebagai alternatif pijakan dalam mengemas pembelajaran untuk pemahaman (learning for understanding) sekaligus dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa adalah sebagai berikut. (1) Tiga wawasan berpikir dalam pembelajaran ilmu: (a) to present subject matter is not teaching, (b) to store stuff away in the memory is not learning (c) to memorize what is stored away is not proof of understanding (Nachtigall, 1998:1). (2) Dosen dianjurkan untuk mengurangi berceritera dalam pembelajaran, tetapi lebih banyak mengajak para mahasiswa untuk bereksperimen dan memecahkan masalah (Williams, 2005). (3) Dosen dianjurkan lebih banyak menyediakan context-rich problem dan mengurangi context-poor problem dalam pembelajaran (Yerushalmi & Magen, 2006). Landasan teoretis tersebut menekankan pula pentingnya dosen melakukan perubahan paradigma dalam memfasilitasi mahasiswa, dari cara pandang: “mengajar adalah berceritera tentang konsep” menjadi sebuah perspektif ilmiah teoretis: “mengajar adalah menggubah lingkungan belajar dan menyiapkan rangsangan-rangsangan kepada mahasiswa untuk melakukan inquiry learning dan memecahkan masalah-masalah kontekstual dalam rangka mengkonstruksi pemahaman”(Wenning & Wenning, 2006). Hal ini penting, karena dalam belajar, mahasiswa akan cepat lupa jika hanya dijelaskan secara lisan, mereka akan ingat jika diberikan proses mengalami melalui pemecahan masalah, dan akan memahami jika diberikan kesempatan mencoba (Steinbach, 2002). Mengajar bukan berfokus pada how to teach tetapi hendaknya lebih berorientasi pada how to stimulate learning (Bryan, 2005; Longworth, 1999; Novodvorsky, 2006; Popov, 2006; Wenning, 2005(a); Wenning, 2006(b)) dan learning how to learn (Longworth, 1999; Novak & Gowin, 1985).

Oleh karena lingkungan merupakan salah satu fasilitas bagi mahasiswa untuk melakukan revolusi paradigma, maka konsepsi interaksi sosial menjadi penting untuk dipahami maknanya dalam pengakomodasian perubahan paradigma. Interaksi sosial yang optimal secara konseptual didukung oleh premis: “Students may learn more if teacher teach them less”. Premis ini dilandasi oleh gagasan teoretis: “Meaning making is not just an individual operation, the individual interacts with others to construct shared knowledge (Costa, 1999:27). Konsepsi terakhir ini mengisyaratkan, bahwa dalam pengakomodasian perubahan paradigma mahasiswa, pembelajaran kolaboratif yang memberdayakan potensi dialog antar mahasiswa menjadi sangat penting.

B.PEMBAHASAN
1.Konsepsi Belajar dan Proses Belajar
Secara umum, terdapat tiga konsepsi tentang belajar (Mayer, 1999), yaitu: (1) belajar sebagai penguatan respon, (2) belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, dan (3) belajar sebagai konstruksi pengetahuan.
Konsepsi yang pertama, belajar sebagai penguatan respon, berkembang cukup lama hingga tahun 1950 dan mencapai puncaknya ketika perang dunia II. Menurut pandangan ini, belajar terjadi apabila mahasiswa memperkuat atau memperlemah suatu asosiasi antara stimulus dan respon. Teori ini mendasarkan diri pada hasil percobaan dengan binatang sebagai obyek terteliti. Menurut konsepsi ini, mahasiswa pasif menunggu stimulus dan merespon penghargaan dan hukuman yang direncanakan oleh dosen.

Konsepsi yang kedua, belajar sebagai pemerolehan pengetahuan, terjadi apabila mahasiswa dapat menyimpan informasi baru di dalam memori jangka panjang. Pandangan ini berkembang pada tahun 1950 hingga 1970-an yang mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai obyek dalam artificial setting. Peranan mahasiswa adalah pasif menerima informasi yang disajikan oleh Dosen secara tekstual. Konsepsi ini dilandasi oleh asumsi, bahwa informasi dapat ditransmisikan secara langsung dari Dosen ke mahasiswa. Mahasiswa diberi sejumlah informasi oleh Dosen sebagai pencipta lingkungan belajar melalui buku teks, ceramah, atau program multimedia berbasis komputer.

Konsepsi yang ketiga, belajar sebagai konstruksi pengetahuan, terjadi apabila mahasiswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam memori kerja. Pandangan ini berkembang sejak tahun 1980 hingga 1990-an yang mendasarkan diri pada hasil penelitian dengan manusia sebagai subjek dalam setting yang realistik. Menurut konsepsi ini, mahasiswa adalah pencipta gagasan, sedangkan dosen hanya sebagai fasilitator dan pemandu kognitif yang menyediakan bimbingan dan pemodelan pada tugas-tugas akademik yang otentik. Konsepsi yang ketiga tentang belajar tersebut mendasarkan diri pada pandangan konstruktivistik, bahwa belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan oleh mahasiswa sendiri berdasarkan hasil interaksinya dengan lingkungan. Konsepsi ini lebih meletakkan keyakinan bahwa mahasiswa sejak lahir telah dilengkapi dengan berbagai potensi yang siap berkembang menuju ke arah yang lebih sempurna.

Di dalam diri setiap mahasiswa telah dianugrahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa benih-benih niat dan akal untuk semakin tahu dan paham tentang semua hal yang ia jumpai atau alami, untuk berkembang dan maju. Mahasiswa adalah dosen atau dosen yang pertama dan utama untuk dirinya sendiri, kemudian barulah keluarga, masyarakat, dan terakhir adalah dosen di kampus (Mangunwijaya, 1998). Pernyataan senada dilontarkan oleh Rabindranath Tagore (dalam Sri Satya Sai Trust, 1998), bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini membawa pesan dari Tuhan dan siapapun orang di dunia ini tidak akan mampu mengahalangi potensinya untuk berkembang menjadi manusia unggul. Manusia sebagai individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya dalam rangka pembentukan kepribadiannya seumur hidup (Hooper, 2000; Tilaar, 2000a).
Penjelasan tersebut mengindikasikan, bahwa setiap mahasiswa memiliki kemampuan mengelola proses belajar sendiri yang menentukan cepat atau lambatnya mereka menaruh perhatian pada suatu permasalahan yang dihadapinya. Sebelum belajar dan mencoba memahami suatu persoalan, mahasiswa terlebih dulu menaruh perhatian terhadap permasalahan yang akan dipahami.

Perhatian sebagai tanda pertama belajar tersebut akhirnya mengkristal dalam bentuk sikap dan persepsi positif terhadap belajar. Sikap dan persepsi positif tersebut mucul sebagai akibat adanya resonansi antara pikiran dengan lingkungan belajar, koherensi antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari, atau mahasiswa segera dapat menangkap makna tentang pengetahuan baru yang akan dipelajari. Jadi, sikap dan persepsi positif terhadap belajar merupakan cikal bakal yang sangat menentukan mahasiswa itu belajar atau tidak.

Setelah mahasiswa menaruh perhatian terhadap apa yang akan dipelajari, proses kedua, belajar ditandai dengan adanya upaya mahasiswa mencoba melakukan seleksi, organisasi, dan integrasi pengetahuan baru yang akan dipelajari ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki. Proses ini merupakan draft pembentukan pengetahuan yang sifatnya masih kasar (raw knowledge). Pada tahapan ini, pebelajar lebih banyak menggunakan keterampilan retention thinking dan baru akan mencoba tingkatan basic thinking.

Oleh karena pengetahuan yang telah diintegrasikan oleh mahasiswa ke struktur kognitifnya masih bersifat kasar, maka proses yang ketiga, belajar ditandai dengan adanya upaya mahasiswa untuk melakukan perluasan (extending) dan penyempurnaan (rifining) draft pengetahuan yang telah diintegrasikan di strutur kognitifnya. Keterampilan berpikir dasar (basic thinking) mahasiswa mendominasi aktivitas berpikirnya dalam proses perluasan dan penyempurnaan pengetahuan tersebut. Tingkatan berpikir yang digunakan sebagai landasan belajar pada tahapan ini telah melukiskan kerangka pemahaman yang secara gradual akan berproses dari yang dangkal menuju pemahaman yang mendalam (deep undestanding).

Proses belajar yang ke empat, adalah penerapan pengetahuan secara bermakna atas dasar pemahaman yang telah terkonstruksi di struktur kognitifnya. Merupakan suatu kewajiban, bahwa pemikiran akan makna konseptual menjadi tujuan pebelajar. Atas dorongan kemanusiaan, pebelajar berpikir tentang manfaat konsep yang dipelajari. Proses tersebut merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Sebagai konsekuensi dari pendekatan induktif-deduktif sebagai dua pendekatan yang kompelementer dalam mengkonstruksi pengetahuan, maka pengetahuan prosedural tidak hanya berfungsi sebagai hasil pengetahuan konseptual, tetapi juga berfungsi sebagai penghasil pengetahuan komseptual. Keterampilan-keterampilan penalaran (reasoning): basic thinking dan higher order thinking (critical thinking dan creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1996; Lewis, & Smith, 1993) sangat mendominasi aktivitas berpikir peserta didik dalam proses belajar tersebut.

Proses belajar yang kelima, adalah pembiasaan berpikir efektif dan produktif. Di sinilah puncak peristiwa belajar seorang peserta didik (mahasiswa). Pembiasaan berpikir positif dan produktif tersebut tidak hanya untuk tujuan-tujuan duniawi, tetapi juga menembus dimensi-dimensi spiritual atas kesadaran peserta didik bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Proses belajar pada tingkatan ini ditandai dengan adanya perkembangan nilai (value) pada diri peserta didik. Nilai soft skill tersebut tidak hanya yang terkait dengan kepentingan peserta didik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, tetapi juga suatu nilai yang mencerminkan suatu kesadaran rohani (Mulyana, 2004). Tahapan belajar “pembiasaan berpikir positif dan produktif” bersinergi dengan tahapan “sikap dan persepsi positif” dalam mempengaruhi tahapan belajar yang kedua, ketiga, dan keempat. Keterampilan berpikir tingkat tinggi, critical thinking dan creative thinking sangat dibutuhkan dalam menjalani proses belajar pada tahapan ini.

Kelima proses belajar tersebut mencerminkan dimensi belajar (Marzano et al., 1993). Dimensi belajar terdiri dari lima tingkatan, (1) sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif. Dimensi belajar merupakan landasasan ilmiah dalam melakukan reformasi pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Kelima dimensi belajar tersebut saling berinteraksi dalam menentukan keefektifan belajar.

2.Belajar Sebagai Proses Antisipasi terhadap Perubahan
Kesuksesan orang umumnya terkait dengan tiga hal, (1) menggunakan waktu secara efektif, (2) menetapkan tujuan sendiri, (3) memiliki sikap yang positif. Dalam hal ini, belajar menjadi unsur utama dalam meraih kesuksesan tersebut. Kesuksesan dalam belajar merupakan landasan seseorang untuk mencapai kompetensi akademik, non akademik, bahkan kompetensi spiritual. Kompetensi tersebut mutlak diperlukan untuk menjadi manusia unggul di dunia nyata yang penuh ketidakpastian. Kompetensi-kompetensi tersebut adalah (1) berpikir kreatif, (2) pengambilan keputusan, (3) pemecahan masalah, (4) belajar bagaimana belajar, (5) kolaborasi, dan (6) pengaturan diri.

Berdasarkan uraian tersebut, di abad ke-21 ini sangat diperlukan LEARNERS (Listen, Evolve, Adapt, Reciprocate, Network, Enjoy, Reflect, Support) yang LEARNING (Liberates, Empowers, Awakens, Releases, Nourishes, Inspires, Nourtures, Grows). Setiap manusia hendaknya menyadari dirinya sebagai seorang learner dalam rangka mewujudkan learning society. Belajar boleh jadi merupakan salah satu ciri orang hidup. Artinya, hidup adalah proses belajar. Learning is an ongoing process in which the learner finds new ways of thinking and acting (Abruscato, 1996).

Konsep learners yang learning merupakan istilah lain dari kebutuhan individu untuk belajar sepanjang hayat (life long learning). Belajar sepanjang hayat mutlak diperlukan oleh para mahasiswa untuk mendukung perkembangan potensi mereka sebagai manusia melalui proses suportif dan antisipatif secara kontinu yang merangsang dan memberdayakan dirinya untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai yang mereka butuhkan selama hidupnya dan menerapkannya dengan penuh keyakinan, kreativitas, dan kesenangan, dalam semua tugas, keadaan, dan lingkungan di mana mereka berada.

POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN DI KELAS

Teknologi komunikasi dan informasi dalam pendidikan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu:
1. dari pelatihan ke penampilan,
2. dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja,
3. dari kertas ke “on line” atau saluran,
4. fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja,
5. dari waktu siklus ke waktu nyata.
Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut
2
“cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001; 28), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu:
1. e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi,
2. pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar,
3. memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.
Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dsb.
Satu bentuk produk TIK adalah internet yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek dan
3
dimensi. Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada glirannya akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya. Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaan internet pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. TIK telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun di luar kelas.
Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan menuntut siapapun untuk beradaptasi dengan kecenderungan itu kalau tidak mau ketinggalan jaman. Dengan kondisi demikian maka pendidikan khususnya proses pembelajaran cepat atau lambat tidak dapat terlepas dari keberadaan komputer dan internet sebagai alat bantu utama. Majalah Asiaweek terbitan 20-27
4
Agustus 1999 telah menurunkan tulisan-tulisan dalam tema "Asia in the New Millenium" yang memberikan gambaran berbagai kecenderungan perkembangan yang akan terjadi di Asia dalam berbagai aspek seperti ekonomi, politik, agama, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan, dsb. termasuk di dalamnya pengaruh revolusi internet dalam berbagai dimensi kehidupan. Salah satu tulisan yang berkenaan dengan dunia pendidikan disampaikan oleh Robin Paul Ajjelo dengan judul "Rebooting:The Mind Starts at School". Dalam tulisan tersebut dikemukakan bahwa ruang kelas di era millenium yang akan datang akan jauh berbeda dengan ruang kelas seperti sekarang ini yaitu dalam bentuk seperti laboratorium komputer di mana tidak terdapat lagi format anak duduk di bangku dan guru berada di depan kelas. Ruang kelas di masa yang akan datang disebut sebagai "cyber classroom" atau "ruang kelas maya" sebagai tempat anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran secara individual maupun kelompok dengan pola belajar yang disebut "interactive learning" atau pembelajaran interaktif melalui komputer dan internet. Anak-anak berhadapan dengan komputer dan melakukan aktivitas pembelajaran secara interaktif melalui jaringan internet untuk memperoleh materi belajar dari berbagai sumber belajar. Anak akan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan kondisi kemampuan individualnya sehingga anak yang lambat atau cepat akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang sesuai dengan dirinya. Kurikulum dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk yang lebih kenyal atau lunak dan fleksibel sesuai dengan kondisi lingkungan dan kondisi anak sehingga memberikan peluang untuk terjadinya proses pembelajaran maju berkelanjutan baik dalam dimensi
5
waktu maupun ruang dan materi. Dalam situasi seperti ini, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran sesuai dengan peran-peran sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam tulisan itu, secara ilustratif disebutkan bahwa di masa-masa mendatang isi tas anak sekolah bukan lagi buku-buku dan alat tulis seperti sekarang ini, akan tetapi berupa:
1. komputer notebook dengan akses internet tanpa kabel, yang bermuatan materi-materi belajar yang berupa bahan bacaan, materi untuk dilihat atau didengar, dan dilengkapi dengan kamera digital serta perekam suara,
2. Jam tangan yang dilengkapi dengan data pribadi, uang elektronik, kode sekuriti untuk masuk rumah, kalkulator, dsb.
3. Videophone bentuk saku dengan perangkat lunak, akses internet, permainan, musik, dan TV,
4. alat-alat musik,
5. alat olah raga, dan
6. bingkisan untuk makan siang.
Hal itu menunjukkan bahwa segala kelengkapan anak sekolah di masa itu nanti berupa perlengkapan yang bernuansa internet sebagai alat bantu belajar.
Meskipun teknologi informasi komunikasi dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan. Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Dapat juga terjadi proses
6
pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial. Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dsb. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk membimbing anak-anak belajar di rumah masing-masing. Pergeseran pandangan tentang pembelajaran Untuk dapat memanfaatkan TIK dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus diwujudkan yaitu
1. siswa dan guru harus memiliki akses kepada teknologi digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru,
2. harus tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi siswa dan guru, dan
3. guru harus memilikio pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar mencaqpai standar akademik.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan TIK, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam
7
pandangan tradisional di masa lalu (dan masih ada pada masa sekarang), proses pembelajaran dipandang sebagai:
1. sesuatu yang sulit dan berat,
2. upaya mengisi kekurangan siswa,
3. satu proses transfer dan penerimaan informasi,
4. proses individual atau soliter,
5. kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi,
6. suatu proses linear.
Sejalan dengan perkembangan TIK telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu pembelajaran sebagai:
1. proses alami,
2. proses sosial,
3. proses aktif dan pasif,
4. proses linear dan atau tidak linear,
5. proses yang berlangsung integratif dan kontekstual,
6. aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kulktur siswa,
7. aktivitas yang dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual maupun kelompok.
8
Hal itu telah menguban peran guru dan siswa dalam pembelajaran. Peran guru telah berubah dari:
1. sebagai penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, akhli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar;
2. dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses pembelajaran.
Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu:
1. dari penerima informasi yang pasif menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran,
2. dari mengungkapkan kembali pengetahuan menjadi menghasilkan dan berbagai pengetahuan,
3. dari pembelajaran sebagai aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif dengan siswa lain.
9
Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada guru telah bergesar menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Lingkungan
Berpusat pada guru
Berpusat pada siswa
Aktivitas kelas
Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis
Siswa sebagai sentral dan bersifat interaktif
Peran guru
Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai akhli
Kolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai akhli
Penekanan pengajaran
Mengingat fakta-fakta
Hubungan antara informasi dan temuan
Konsep pengetahuan
Akumujlasi fakta secara kuantitas
Transformasi fakta-fakta
Penampilan keberhasilan
Penilaian acuan norma
Kuantitas pemahaman , penilaian acuan patokan
Penilaian
Soal-soal pilihan berganda
Protofolio, pemecahan masalah, dan penampilan
Penggunaan teknologi
Latihan dan praktek
Komunikasi, akses, kolaborasi, ekspresi
10
Kreativitas dan kemandirian belajar Dengan memperhatikan pengalaman beberapa negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelas sekali TIK mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap proses dan hasil pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. TIK telah memungkinkan terjadinya individuasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Melalui penggunaan TIK setiap siswa akan terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan menggunakan TIK menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan mengembangkan semua potensi yang dimilikinya..
Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama, kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga, kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup, dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani
11
menghadapi resiko, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain, dsb. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat dikondensasikan. Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal. Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa TIK memberikan peluang untuk berkembangnya kreativitas dan kemandirian siswa. Pembelajaran dengan dukungan TIK memungkinkan dapat menghasilkan karya-karya baru yang orsinil, memiliki nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang lebih bermakna. Melalui TIK siswa akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga meningkatkan wawasannya. Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak terutama dalam hal pengembangan kompetensi, kreativitas, kendali diri, konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain.
12
Peran guru
Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan
13
tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luiar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya.